3) 34th Sunday in Ordinary Time, November 20, 2005
Monday, November 14, 2005.
I attended the Amos class in the morning and presiding class in the afternoon. In the first part of the presiding class I met my group at 6th floor chapel to discuss about our infant baptism next week and the second part we had class at the founder’s room in which some classmates acted of the sacrament of anointing of the sick and the reconciliation. At 5 p.m. in my community Dharmawan led us the lectio divina. At night I revised my draft of Infant Baptism Rite.
Tuesday, November 15, 2005.
In the morning after having breakfast, I went to downtown, the blood center to donate my blood after waiting for three years. Eventually, I could donate it. I was so happy about it. The doctor who took care of me in the blood center is a young Philippines lady who also just lives in the US for three years. They took 500 CC of my blood, which is different with my experience in Indonesia. Normally in Indonesia every donation, I donated about 250-350 CC every three months. So far, I have donated my blood for 30 times. But, in the US I could donate my blood every 8 weeks or two months. After I run to get to a shelter bus, I was almost fainted but fortunately, I was conscious again. It happened maybe because I was running and the weather was little bit cold. I came home happily today after donating my blood and I felt healthier than ever. In the evening I attended EMP class.
Wednesday, November 16, 2005.
This morning I attended the Amos class and in the evening after supper, I went to SVD house to practice my Infant Baptism rite in the group. At 8.30 p.m. for the first time in this Fall season the snow was pouring down even though only for a moment. The temperature was pretty cold, about 26 degrees Fahrenheit (minus 6 degrees Celsius). After arrived home, I revised my draft of Infant Baptism and acceptance in to full communion Rites.
Thursday, November 17, 2005.
In the morning I attended the Inculturation and Dialogue class and we had presentation of our visit to Theravada temple. At night we had a community meeting discussing about the Theology of Mission in the Cosuma document. Today I received three VCD of Buddhist teaching from a Theravada monk whom I visited with my group a couple of weeks ago. The temple whose name Wat Phrasriratanamahadhatu is located at Magnolia Avenue, North Chicago.
Friday, November 18, 2005.
At 9 a.m. Father Rocco led us the monthly retreat at our community. This time we reflected upon an article of Ministry and Spirituality. After personal reflection, we gathered again at 11.30 a.m. to share each other. In the afternoon I was cooking chicken, mash potatoes and rice. After the supper, I practiced to say Mass in Indonesian language with Harno at the chapel. Dharmawan helped me to set up the handycam camera for my Indonesian Mass tomorrow.
Saturday, November 19, 2005.
In the morning I did some work at the kitchen, cleaning the stove and laundry. I prepared things for my Indonesian Mass this evening at Saint Therese Chinatown. At 4.20 p.m. we (Ignas, Dharmawan, Harno, Atumsi and I) went to Saint Therese Church. After Father Aniello said the Mass at 5 p.m., I did my presiding class assignment, namely, presiding Indonesian Mass with the help of some Indonesian friends. Harno is the musician of organ, Lisa is the cantor, Marvin is the altar server, the cameramen are Dharmawan and Edi, then Ignas and helped me in the offertory of gifts and the faithful prayer. It lasts 1 hour and 5 minutes. Overall, it was well done and my professor, Father Fragomeni will evaluate it on December 5th. I treated the three Indonesian Xaverian at a Chinese restaurant at Chinatown to utter my gratitude for them who have participated and supported me at this presiding Mass.
Sunday, November 20, 2005.
In the morning at 8 a.m. with Valery, I went to Saint Therese Chinatown by CTA. As usual together with Cesare and Deacon Paul, I served at the 9.30 a.m. Mass then at 11 to 12 a.m. we were teaching the Confirmation kids; there were 4 coming at this class; Alex and Priscilla didn’t come. Cesare with his laptop and power point presentation explained the kids about the liturgical year then I explained how to serve as altar server at the Mass. At 3 p.m. to 4 p.m. I joined the meditation at the church guided by Father Michael and followed by two others ladies including Agnes. So, we’re only 4. I returned to Hyde Park and transferred my Indonesian presiding Mass to VHS tape (one hour and 5 minutes).
Here I shared my homily at this Indonesian Mass I have presided on Saturday, but in Indonesian language…..entitled “Paimo and Dinda.”
PAIMO DAN DINDA
Saat ini di Indonesia hidup dan kehidupan serba susah. Harga BBM naik akibatnya terjadi PHK di berbagai perusahaan. Salah satu yang terkena PHK adalah Paimo. Bulan ini Paimo tidak bisa lagi mengirim uang untuk isterinya di kampung halamannya. Ia hanya bisa mengirim surat. Isinya demikian:
Istriku Dinda Tercinta,
Maafkan Kanda sayang, bulan ini Kanda tidak bisa mengirim uang untuk kebutuhan keluarga di rumah. Kanda hanya bisa mengirimmu 1000 ciuman.
Yang paling tercinta,
Kanda Paimo.
Seminggu kemudian Paimo mendapatkan surat balasan dari isteri tercintanya:
Kanda Paimo tersayang terima kasih atas kiriman 1000 ciuman Kanda. Untuk bulan ini dinda akan menyampaikan laporan pengeluaran keluarga sbb:
Tukang minyak bersedia menerima 2 ciuman setiap kali membeli 5 liter minyak tanah. Tukang listrik mau dibayar dengan 4 ciuman per tanggal 10 setiap bulannya. Pemilik kontrakan rumah mau dibayar cicilan dengan 3 kali ciuman setiap harinya. Engkoh pemilik toko bahan makanan tidak mau dibayar pakai ciuman. Ia maunya dibayar dengan yang lain….Yah terpaksa dinda berikan saja.
Hal yang sama juga dinda berikan buat kepala sekolah dan gurunya si Udin yang sudah 3 bulan nunggak uang sekolah….
Besok dinda mau ke pegadaian untuk tukerin 200 ciuman dengan uang tunai, karena yang punya pegadaian sudah bersedia menukarkan 200 ciuman + bayaran lainnya dengan uang 650 ribu rupiah, lumayan buat ongkos sebulan. Keperluan pribadi dinda bulan ini mencapai 50 ciuman.
Kanda tersayang…bulan ini dinda merasa yang paling kaya di kampung karena sekarang dinda memberikan piutang ciuman kepada banyak pemuda di kampung kita dan siap ditukar kapan pun dinda butuhkan. Kanda, dari kanda masih ada 125 ciuman, apakah Kanda punya ide? Atau saya tabung saja yah?
Dari yayang tercinta: Dinda seorang.
Kalau kita menyimak bersama cerita Paimo dan isterinya Dinda dengan modal 1000 ciuman kiriman Paimo ini, pikiran kita langsung ke arah hal yang negatif yaitu melihat situasi Paimo yang sudah di PHK, ia hanya mengirimkan 1000 ciuman dan bukannya uang untuk isteri dan anaknya. Maka logika wajar kita mengarah pada inisiatif Dinda isterinya untuk menjual diri atau menukar ciuman dengan uang atau kewajiban lain yang harus dipenuhi.
Padahal kalau kita cermati bersama Nyonya Paimo alias Dinda ini orangnya cukup “accountable”, jujur dan terpercaya apa adanya, penuh dedikasi dan tanggung jawab akan segala yang ia terima dari suaminya, yaitu 1000 ciuman kiriman suaminya, Paimo ini tidak disia-siakan. Ia pakai untuk memenuhi kebutuhan rumah tangganya. Satu-per-satu perhitungan ciuman dari suaminya itu ditukarkan dengan kebutuhan pokok setiap harinya dari minyak tanah, tukang listrik, uang sekolah anaknya Udin hingga keperluan pribadi sang isteri. Bahkan sisanya pun berupa 125 ciuman masih disimpan sebagai cadangan untuk keperluan pengeluaran tak terduga. Lebih lagi sang isteri minta saran Paimo untuk apa sisa 125 ciuman ini. Singkatnya kalau kata “CIUMAN” ini diartikan sebagai kata kiasan dan bukan arti sesungguhnya yang ditafsirkan sebagai uang/materi/barang/talenta sang isteri sudah bertindak sewajarnya seperti bacaan I dari Kitab Amsal: “Isteri yang cakap siapa yang akan mendapatkannya? Ia lebih berharga daripada pemata. Hati suaminya percaya kepadanya, suaminya tidak akan kekurangan kentungan.” Dinda, Sang isteri ini sudah menjalankan perannya sebagai isteri, ibu rumah tangga dan peran sosialnya di masyarakat dengan penuh tanggung jawab. ISTRI = Istana Surga Tumpuan Rahmat Ilahi. SUAMI = Sumber akan Mendapatkan Impiannya. Ini pesan positifnya.
Namun, kalau kita melihat sisi negatifnya, “CIUMAN” kita artikan sebagai bukan materi atau uang tapi memang benar-benar ciuman, berarti hanya penghiburan moral semata, nalar kita lari pada tindakan sang isteri yang asusila dan tidak terpuji. Ia rela menjual ciuman, menjual diri pada banyak pria untuk memenuhi kebutuhan hidup rumah tangganya. Bagaimana mungkin si isteri setia pada suaminya kalau ia sudah main serong dengan banyak pria lain untuk mendapatkan uang atau melacurkan diri? Kita orang beriman merasa risih mendengar cerita macam ini karena kita mengakui diri kita sebagai orang bermoral dan bersusila, melihat orang-orang yang bekerja sebagai pelacur semacam ini, kita cenderung menghakimi mereka tanpa melihat kasus per kasus bagaimana dan apa di balik perilaku asusila mereka. Kalau kita mau menganalisa lebih lanjut, pasti masalahnya kompleks dan rumit, tidak hanya menyangkut si pelacur tapi juga keluarga dan masyarakat bahkan negara ada di balik itu semua. Padahal dalam masyarakat kita ada orang-orang macam ini, menjual diri. Ada satu wanita di kota saya yang hidup dengan suaminya dan memiliki 6 orang anak yang memiliki wajah berbeda-beda. Orang sering bilang, “Wanita ini dijual oleh suaminya untuk mendapat uang guna memenuhi kebutuhan hidup rumah tangga mereka.” Kisah semacam ini menjadi bahan konsumsi laris-manis bagi orang-orang yang merasa dirinya lebih baik. Bukankah Yesus dalam Injil selalu mengutamakan orang-orang yang berdosa untuk diselamatkan seperti pelacur, pemungut cukai, orang kusta, orang miskin, sampah masyarakat dan minoritas lainnya? Pada akhir zaman orang-orang macam ini akan masuk ke dalam kerajaan surga terlebih dahulu daripada orang-orang yang menyebut dirinya sebagai orang yang kudus dan suci.
Akhirnya refleksi bagi kita adalah: Bagaimana kita menggunakan TALENTA/bakat/modal/ciuman/kasih/iman-harapan-kasih yang kita miliki dan diberikan oleh Tuhan secara cuma-cuma secara bertanggung jawab, berani ambil resiko dengan dasar kasih yang tulus ikhlas demi kebaikan semua dan tidak menyimpannya sendiri untuk kebutuhan pribadi? Intinya memberi dan diberi/ mencintai dan dicintai/ mengasihi dan dikasihi secara timbal-balik sebagi insan manusia memberikan MAKNA tertinggi dalam hidup kita seturut ajaran Tuhan kita Yesus. Semoga kita sekalian sungguh menjadi ISTRI (Istana Surga Tumpuan Rahmat Ilahi) dan SUAMI (Sumber akan Mendapatkan Impiannya) yang bijaksana untuk kebaikan keluarga kita bersama. Amin.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment