Saturday, December 27, 2008

Natal 2008 di Kota Kumamoto, Jepang Selatan

Natal 2008 di Kota Kumamoto, Jepang Selatan
Oleh Alexander Denny Wahyudi, s.x.

Berikut ini sedikit laporan dan sharing pengalaman saya sebagai misionaris yang baru saja tinggal di Jepang selama hampir lima bulan ini. Saya menceritakan apa yang terjadi dalam suasana natal di ketiga paroki di Kumamoto yang sempat saya ikuti dalam perayaan natal tahun ini. Ketiga paroki itu adalah Shimasaki di mana saya tinggal, lalu Gereja Tettori di pusat Kota Kumamoto dan Gereja Musashigaoka yang terletak di pinggiran kota.

Suasana Natal di tahun 2008 di beberapa paroki di sekitar Kumamoto, Pulau Kyushu, Jepang Selatan sungguh memberikan kesan tersendiri bagi saya pribadi yang baru memulai hidup di tanah misi sebagai seorang misionaris. Tidak seperti di negeri kita Indonesia tercinta terutama di kota-kota besar seperti Jakarta di mana perayaan Natal selalu dihadiri banyak umat Katolik sampai di luar gedung gereja, di Jepang setidaknya dalam pengalaman pertama Natal di kota kecil seperti Kumamoto ini tidak banyak umat yang berlimpah memenuhi gereja. Memang jumlah umat yang datang saat misa Natal di gereja Shimasaki, Kumamoto tempat saya tinggal sekarang ini lebih banyak dibandingkan misa Minggu biasa. Bahkan mereka yang datang ke misa malam natal tunggal pukul 19.00 ini banyak yang bukan Katolik. Misa tunggal hari Minggu biasa tiap jam 9 pagi biasanya dihadiri sekitar 80 umat dan mayoritas ibu-ibu senior alias lansia namun sekali setahun gedung gereja yang berbentuk mirip UFO dari luar ini (berbentuk bundar) saat natal dipenuhi oleh banyak pendatang baru. Bahkan tim kor yang menyumbangkan lagu dengan gaya professional mereka yang terdiri dari bapak-bapak senior itu semuanya bukan Katolik namun mereka dengan semangat menyanyikan lagu-lagu Katolik baik dalam bahasa Latin maupun bahasa Jepang dengan merdunya. Mereka berjumlah sekitar 20 orang.

Misa malam natal ini diawali dengan perarakan oleh pastor paroki, Danilo Marchetto,sx yang sudah menjadi misionaris di Jepang selama 20 tahun bersama beberapa anak dengan berpakaian ala zaman Yesus yang memberikan gambaran sebagai Maria, Yosef dan beberapa gembala. Dalam perarakan di awal misa ini mereka mempersembahkan bayi Yesus di kandang gua natal yang berada di depan samping kanan altar. Lalu dilanjutkan dengan perayaan misa natal yang berlangsung selama 1,5 jam. Umat yang hadir berjumlah sekitar 300 orang. Dalam doa umat anak-anak yang turut dalam perarakan ini membacakan doa satu-persatu dari tempat duduk mereka. Secara umum perarakan natal ini tidak berbeda dengan misa natal lain di Indonesia. Hal yang membedakan adalah bahasa yang baru untuk saya yaitu bahasa Jepang. Dalam misa minggu biasa yang memberikan komuni biasanya hanya satu pastor atau dua pastor namun dalam misa natal ini kami bertiga turut bertugas membagikan komuni. Anak-anak kecil dan orang dewasa yang belum dibaptis pun mereka turut maju ke depan untuk menerima berkat dari pastor termasuk para anggota kor yang berpakaian jas hitam.

Setelah misa selesai, perayaan kebersamaan dilanjutkan dengan makan bersama di aula paroki dekat gereja yang diawali dengan “Kanpai” yaitu cheers dengan mengangkat gelas minuman masing-masing yang menjadi tanda selamat natal bagi semuanya. “Kurisumasu omedetou gozaimasu” (selamat natal) yang diawali oleh Matsumoto-San sebagai tokoh Katolik di paroki yang sebelumnya digembalakan oleh Misionaris Columban asal Irlandia dan sekarang dilayani oleh Misionaris Xaverian. Selanjutnya santap malam dengan model prasmanan atau standing party dengan menu sushi bar yang dipersiapkan oleh ibu-ibu paroki yang bekerja dengan penuh dedikasi. Karena banyak umat yang hadir dalam misa dan perayaan ini baru pertama kali berjumpa dengan saya maka beberapa dari mereka banyak menyapa dan bertanya kepada saya dengan keterbatasan bahasa Jepang yang sudah saya pelajari. Meskipun bahasa masih menjadi penghalang utama bagi saya untuk berkomunikasi dengan umat namun saya merasakan keterbukaan dan keramahtamahan umat dalam menerima kami sebagai gembala. Beberapa anak yang turut ambil bagian dalam perayaan bersama ini turut bergembira bersama saya dengan foto bersama dan sesekali saya memberikan salam dan bertanya sedikit seputar nama dan sekolah mereka. Setelah makan malam bersama ini selesai maka perayaan natal pun selesai, satu per satu umat kembali ke rumah mereka masing-masing. Di hari Natal 25 Desember di gedung gereja Shimasaki, Santa Theresia dari Kanak-Kanak Yesus ini tidak lagi dirayakan misa namun misa pukul 7 pagi dirayakan di kapel biara suster FMM yang memiliki sekitar 50 suster lansia yang tidak dapat datang ke gereja malam natal sebelumnya.

Di Kota Kumamoto ini ada satu paroki lain yang lebih besar dan terletak di tengah kota di mana banyak dijumpai pusat bisnis dan hotel. Gereja ini jauh lebih tua dibandingkan gereja di Shimasaki yang berjarak sekitar 3 kilometer. Gereja Tettori yang berusia lebih dari 100 tahun dan digembalakan oleh seorang imam diosesan Keuskupan Fukuoka ini merayakan misa malam natal dua kali yaitu jam 19.00 dan 22.00. Lalu, di hari Natal tanggal 25 Desember pukul 10.00 dirayakan misa natal di mana gedung gereja nampak penuh dengan misa pembaptisan seorang ibu lansia dan seorang bayi. Misa dirayakan dalam bahasa Jepang dan nampak banyak ibu-ibu lansia dengan kerudung putih saat misa sebagai tradisi gereja Katolik Jepang. Satu hal yang menarik dalam misa di Tettori ini adalah ada satu suster yang menjadi juru penerjemah dalam bahasa tubuh bagi umat tuna rungu dan tuna wicara. Sepanjang misa berlangsung bahkan dalam saat menyanyikan lagu-lagu misa pun suster ini terus berbicara dalam bahasa tubuhnya sebagai pelayanan bagi saudara-saudari yang tidak mampun mendengar dengan telinga namun mampu melihat dan mendengar dengan suara hati mereka.

Sekitar delapan kilometer dari Gereja Tettori ada lagi satu gereja Katolik yaitu di daerah bernama Musashigaoka di mana Pastor Renato Filippini,s.x. (39 tahun) asal Italia melayani sebagai gembala dalam tiga tahun terakhir ini. Gereja ini lebih mungil dibandingkan dua gereja di atas namun umat Katolik Jepang yang ada banyak keluarga muda. Di gedung gereja inilah saya tiap bulan melayani misa berbahasa Inggris yang kebanyakan diikuti oleh ibu-ibu muda asal Philipina yang menikah dengan orang Jepang dan biasanya suami mereka bukanlah Katolik. Dalam misa bahasa Inggris (selalu dalam minggu ketiga) bulan Desember ini dihadiri sekitar 50 umat termasuk anak-anak mereka. Setelah misa mereka merayakan natal bersama dengan permainan dan makan siang bersama yang berlangsung pula di dalam gedung gereja ini dengan terlebih dahulu ditutup dengan pintu pembatas antar altar dan gedung gereja yang berkapasitas sekitar 120 umat ini. Lain dengan dua gereja di atas yaitu Shimasaki dan Tettori, di gereja Musashigaoka ini umat yang masuk dalam gereja harus menanggalkan alas kaki dan memakai sandal yang tersedia di depan gereja. Hal ini menjadi tradisi Jepang yang masih dipelihara di gereja ini. Umat Philipina ini diundang pula untuk merayakan misa natal bersama umat Jepang lainnya di baik misa malam natal maupun di tanggal 25 Desember dengan tujuan agar persatuan antar mereka sebagai umat Katolik terwujud kendati berbeda budaya dan asal-usul. Demikian ditekankan Pastor Renato,s.x. sebagai kepala paroki Musashigaoka. Bahkan di bulan Januari nanti umat Philipina diundang untuk datang ke misa bersama suami mereka yang tidak beragama Katolik sebagai perkenalan awal bagi orang Jepang yang bukan Katolik itu, bukan untuk mengajak mereka menjadi Katolik namun turut merangkul mereka sebagai bagian dari perkumpulan dan kegiatan-kegiatan mereka.

Satu hal yang disayangkan tidak terjadi adalah saat misa malam natal di Shimasaki yang dihadiri sekitar 300 umat dengan konselebrasi 4 imam, pastor kepala paroki, Danilo Marchetto, s.x. tidak memperkenalkan kepada umat tentang siapa kami bertiga imam muda yang baru saja tinggal di Jepang selama hampir 5 bulan dan setahun lebih. Kami bertiga sedang belajar bahasa Jepang di YWCA Kumamoto. Kami adalah P. Michel da Rocha, sx (31 tahun) asal Brasil, P. Felipe Lopez Orozco,sx (36 tahun) dari Mexico dan saya sendiri, P. Denny Wahyudi,sx asal Indonesia. Namun demikian saat setelah misa kami memiliki kesempatan untuk beramah-tamah dengan umat dengan modal bahasa Jepang yang sudah kami dapat dari sekolah.

Dalam pembicaraan dengan beberapa pastor Xaverian yang berkarya di daerah Kyushu ini, saya mendapatkan kesan bahwa kepenuhan dan target karya kerasulan mereka tidak berdasarkan pada kuantitas umat yang datang ke gereja namun lebih pada kualitas. Memang sulit bermisi di Jepang kalau mengandalkan jumlah umat dan baptisan karena banyak gereja yang berukuran mini dalam kuantitas seperti satu lingkungan kecil di satu paroki besar di Jakarta misalnya. Bahkan 10-50 orang saja saat misa hari Minggu. Itulah tantangan hidup mengereja di Jepang ini yang memiliki jumlah umat Katolik sekitar 450 ribu orang Jepang dan setengah juta Katolik orang asing yang berasal dari Brasil, Mexico, Peru, Philipina dan juga Indonesia di kota-kota besar seperti Osaka, Tokyo dan Nagoya.