Friday, April 03, 2009

Pengalaman 8 Bulan di Jepang (3 Agustus 2008 – 3 April 2009)

Pengalaman 8 Bulan di Jepang (3 Agustus 2008 – 3 April 2009)
P. Alexander Denny Wahyudi, S.X.


Bahasa Jepang
Sejak dari Italia saya sudah mencoba mencicipi nuansa bahasa Jepang yang terkenal sulit ini. Dari internet saya mendapatkan banyak pelajaran bahasa Jepang gratis selain beberapa buku yang saya beli saat itu. Perkenalan saya akan pelajaran bahasa Jepang ini menjadi nyata ketika saya menemukan sebuah Injil Lukas berisi beberapa bahasa termasuk bahasa Jepang. Karena saya sudah belajar bagaimana cara membaca tulisan Jepang, yaitu Hiragana dan Katakana maka dengan Injil Lukas yang saya temukan ini membuat saya terpacu untuk membaca dan membaca tulisan Jepang ini. Memang tulisan bahasa Jepang terdiri dari tiga macam tulisan yaitu Kanji, Hiragana dan Katakana. Dalam Injil yang saya temukan itu terdapat tulisan Kanji Jepang yang memiliki furigana alias huruf Hiragana di samping tiap Kanji, maka meskipun saya tidak tahu banyak arti dari kata-kata Jepang itu namun tiap hari saya latihan membaca dalam hati tulisan-tulisan itu. Setiba di Jepang bulan Agustus 2008, saya sangat bersemangat untuk mencoba melihat dan membaca tiap tulisan Hiragana dan sedikit Kanji yang sudah saya pelajari sendiri saat di Italia. Sungguh suatu pengalaman yang sangat menyegarkan di awal hidup saya di Jepang ini. Kendati Nihongo (bahasa Jepang) ini sulit namun bila dipelajari dengan baik dan sistematis maka lambat-laun pasti bisa dikuasai.
Selama 1,5 bulan saya diberikan waktu bebas untuk menikmati banyak tempat indah baik di Osaka dan Pulau Kyushu di mana Xaverian berkarya. Mulai pertengahan September 2008 saya mulai sekolah bahasa Jepang di YWCA (Youth Women Christian Association) Kumamoto. Metode sekolah ini adalah privat dan saya tidak belajar dengan murid lain namun hanya berdua dengan konfrater saya yaitu Felipe Lopez asal Mexico. Tiap minggu 4 kali kami belajar di sekolah yang berjarak sekitar 5 km dari paroki Shimasaki, Kumamoto. Setiap pertemuan hanya dua jam dari jam 10 s.d. 12 siang. Jadi dalam satu minggu hanya 8 jam di sekolah. Buku yang digunakan adalah Minna no Nihongo yang langsung dari awal selalu tertulis dalam tulisan Jepang, Hiragana dan Kanji. Membandingkan pengalaman belajar bahasa di Amerika Serikat dan di Jepang ini maka saya langsung tidak puas dengan sekolah yang saya punya di Jepang ini. Bagaimana tidak? Belajar bahasa Inggris yang sudah saya pelajari sejak di bangku SMP lalu di Amerika saya belajar khusus saja seminggu bisa 25 jam namun belajar bahasa Jepang yang belum banyak saya pelajari cuma 8 jam seminggu. Sungguh suatu kemunduran bagiku. Namun karena saya orang baru dan harus menuruti apa yang sudah diputuskan dan ditentukan oleh pimpinan jadi saya mengikuti apa adanya. Sampai di awal Januari saya mencoba mengunjungi satu sekolah bahasa Jepang lain yang terkenal lebih berbobot yaitu YMCA (Youth Men Christian Association) Kumamoto. Dari kunjungan saya ini membuahkan hasil sampai suatu saat pimpinan saya di Jepang ini memberikan kesempatan buat saya untuk mencoba ikut tes masuk bulan Maret lalu dan diterima dengan baik. Maka, sungguh suatu perjuangan yang membuahkan hasil. Syukur kepada Tuhan bahwa saya diperkenankan masuk sekolah baru ini yang akan mulai 13 April 2009 nanti dengan kontrak selama dua tahun penuh. Kebalikan dengan sekolah sebelumnya, sekolah baru ini lebih menekankan persiapan para muridnya untuk menguasai banyak hal termasuk tes masuk ke perguruan tinggi di Jepang. Aspek budaya dan peraturan yang ketat turut menjadikan YMCA ini suatu pilihan yang sangat tepat buat saya pribadi. Mohon doa dari para konfrater dan saudara sekalian semoga dengan semangat yang sama saya terus belajar dengan baik di sekolah baru ini.
Sejak awal saya tinggal di Jepang saya sudah mencari buku-buku yang bisa dipakai untuk doa dan misa harian dalam bahasa Jepang. Jadi, praktis saat saya pindah di Kumamoto sejak September 2008 saya selalu memimpin misa saat saya giliran dengan bahasa Jepang, dengan tulisan Jepang namun tanpa umat karena dalam misa harian. Sejak awal pula pastor paroki di sini memberikan nasehat agar kami bersabar dengan bahasa Jepang dan diperbolehkan memimpin misa dengan umat setelah setahun di Jepang. Namun secara pribadi saya memulai sendiri belajar membaca tulisan misa bahasa Jepang dan memakaianya setiap hari baik dalam misa maupun doa Rosario. Alhasil, apa yang sudah saya jalankan sejak awal membuat saya makin percaya diri bahwa saya bisa membaca tulisan Jepang dengan baik. Banyak fasilitas untuk belajar bahasa Jepang yang saya miliki seperti komputer Fujitsu yang sejak awal dihadiahkan bagi saya saat saya tiba di Jepang. Komputer dengan sistem Jepang ini membuat saya sangat antusias mengenal tulisan Jepang dan bagaimana mengetik tulisan Jepang. Alkitab seluruhnya dalam bahasa Jepang saya dapatkan baik dari buku Alkitab maupun software di komputer dan juga audio. Sungguh suatu bahan yang sangat mendukung. Sejak awal tahun 2009 saya diberikan buku misa harian lengkap dengan doa-doa misa dan bacaan misa harian dalam tulisan Jepang. Buku ini membuat saya lebih bersemangat untuk mempelajari sendiri bagaimana membaca tulisan Jepang dengan bantuan komputer dan juga kamus elektronik yang juga saya beli sejak awal. Tidak puas dengan membaca misa dalam tuisan Jepang yang ada furigananya, saya mulai menghafalkan dan mendaftar semua Kanji dalam misa dan akhirnya saya berani menggunakan buku misa kecil tanpa furigana, jadi berupa Kanji Jepang yang semakin saya kenal karena tiap hari saya baca. Setelah mengenal bagaimana sistem penggunaan buku misa saya memberanikan diri membeli satu buku besar berisi doa dan bacaan misa lengkap untuk sepanjang tahun yang mencakup tahun A, B dan C yang berjudul “Mainichi no Misa”. Setelah belajar bahasa Jepang dari sekolah, maka saya memberanikan diri untuk mendekati umat tiap hari Minggu dan praktek bicara dengan mereka setelah selesai misa. Sungguh suatu perjuangan yang harus terus diasah karena apa yang saya pelajari dari sekolah berbeda dengan kosa kata harian dalam percakapan. Ke mana pun saya pergi saya sudah berani bertanya dan berjalan sendiri dengan kemampuan bahasa Jepang apa adanya. Di bulan Januari saya berani pergi ke Osaka sendiri dengan naik bis dari Kumamoto. Saya membawa sepeda lipat saya dan berani mencari alamat teman saya di Osaka dengan bertanya-tanya kepada banyak orang di sepanjang jalan saat saya tersesat. Suatu kepuasan tersendiri ketika saya akhirnya bisa menemukan alamat teman saya itu. Fasilitas lain yang saya gunakan untuk belajar bahasa adalah internet terutama Facebook yang dapat digunakan untuk merekam video langsung dari webcam dan laptop. Saya merekam banyak video yang isinya pelajaran bahasa Jepang atau doa Rosario dan misa serta bacaan Injil Mingguan dalam bahasa Jepang dan bahasa-bahasa lain.
Selain pelajaran bahasa Jepang di sekolah resmi di atas saya juga menemukan melalui Internet satu tempat khusus yaitu Kumamoto International Center untuk belajar bahasa Jepang gratis. Sejak akhir Januari saya datang ke tempat studi ini dan ada beberapa guru bahasa Jepang yang dengan sukarela mengajar secara privat atau pun berkelompok. Tiap Rabu dan Minggu saya sudah beberapa kali mengikutinya dan bertemu dengan banyak teman dari negara lain seperti Cina, Korea, Philipina dan Indonesia tentunya. Tiap pertemuan berlangsung selama dua jam dan boleh belajar 4 jam dalam sehari dalam jam yang berbeda. Kalau dari awal saya tahu akan hal ini saya pasti memanfaatkannya dengan baik. Namun karena sudah di akhir Januari saya baru tergugah untuk mengikutinya berkat pencarian sendiri maka sudah agak terlambat. Lagi pula sekolah baru saya nanti sudah banyak menuntut perhatian dan waktu yaitu di YMCA Kumamoto yang selalu memberikan ujian harian dan ujian kenaikan tingkat. Maka waktu dan perhatian saya akan tersita untuk studi ini dan barangkali tidak lagi datang ke sekolah bahasa Jepang gratis di Kumamoto International Center itu.
Selain itu saya juga mendaftar di YMCA Kamitori di Kumamoto juga untuk mendapatkan satu partner orang Jepang yang memberikan kesempatan face to face bicara dan bercakap dalam bahasa Jepang. Kesempatan ini gratis dan saya tinggal menunggu kabar dari pihak YMCA Kamitori setelah mereka mendapatkan satu volunteer mereka akan menghubungi saya dan tiap minggu dapat bertemu sekali selam satu jam. Volunter yang ada biasanya adalah calon guru bahasa Jepang. Saya masih terus berharap mendapatkan kabar segera dari yang satu ini.
Intinya belajar bahasa Jepang memang sangat menyenangkan kalau kita tahu bagaimana metode, cara, kesempatan dan link yang membuat kita terus terpacu untuk ingin tahu. Dan ini semua sudah saya coba sedemikian rupa sehingga akhirnya saya mendapatkan sekolah bahasa Jepang yang sungguh sangat intensif yaitu YMCA Kumamoto. Saya berharap dengan sekolah baru ini nanti saya dapat menguasai bahasa Jepang dengan lebih lengkap bukan hanya tata bahasa saja tapi juga gaya hidup dan budaya Jepang serta mengenal banyak teman dari berbagai bangsa terutama dari Cina memberikan kesempatan emas bagiku untuk memberikan kesaksian nyata secara Kristiani dan juga sebagai orang Indonesia yang memiliki darah Cina juga namun sama sekali tidak berbahasa Cina.

Hidup Komunitas
Xaverian yang berkarya di Jepang saat ini ada 34 orang yaitu 2 dari Spanyol, 1 dari Brasil, satu dari Mexico dan saya sendiri dari Indonesia. Kami yang sedang belajar bahasa Jepang ini tinggal di satu paroki kecil di Shimasaki, Kumamoto dengan pastor kepala paroki, Danilo Marchetto, S.X. (56 tahun) yang sudah berada di Jepang selama 20 tahun dalam dua periode berbeda. Terkenal di Jepang bahwa tiap Xaverian biasanya hidup dan berkarya sendiri di paroki-paroki kecil. Dan hal ini benar adanya namun tiap bulan ada pertemuan rutin di antara Xaverian di dua zona berbeda yaitu Osaka di sebelah Utara di rumah regional Xaverian di Izumi Sano, Osaka dan kami semua yang berada di Selatan yaitu Pulau Kyushu termasuk Kumamoto berkumpul di rumah Xaverian di Ehira, Miyazaki.
Gaya hidup di Jepang sungguh sangat nyaman dalam fasilitas dan materi namun gaya kemiskinan tetap menjadi hal yang patut diperjuangkan karena banyak tawaran teknologi dan banyak hal lain yang bisa didapat dengan mudah. Bagaimana tidak? Sejak awal tiap anggota Xaverian mendapatkan tiap bulannya stipendium dari pihak Xaverian di Jepang melalui kantor pos yaitu tabungan atas nama saya pribadi. Sampai saat ini apa yang saya terima lebih dari cukup dari yang saya butuhkan. Yang pasti uang ini dipakai untuk biaya hidup tiap bulan. Dari awal pula saya sudah diminta untuk mencari SIM mobil namun saya belum merasa fasilitas mobil ini saya butuhkan di samping saya harus membutuhkan banyak latihan dalam mengendarai mobil, saya tetap semangat menggunakan sepeda sebagai transportasi harian saya terutama ke sekolah yaitu 20 menit sekali jalan. Lagi pula pihak sekolah bahasa Jepang saya yang baru yaitu YMCA, melarang muridnya mengendarai mobil pribadi ke sekolah maka saya sangat puas dengan bersepeda yang menjadi kebiasaan sejak di Indonesia.
Sejak 1,5 bulan lalu saya mengenal beberapa teman Indonesia di Kumamoto ini. Mereka adalah para mahasiswa studi lanjut untuk dosen-dosen dari berbagai perguruan tinggi negeri di Indonesia. Mereka belajar di Universitas Kumamoto dalam program doktoral, master dan juga post-doktoral. Mereka biasa tinggal bersama keluarga mereka di Jepang yaitu anak dan isteri mereka. Ada sekitar 15 mahasiswa Indonesia di Kumamoto ini. Dari perkenalan dengan teman-teman Indonesia ini saya akhirnya mengetahui toko Indonesia yang menjual bahan-bahan makanan dari Indonesia. Maka saya membeli indomie, bumbu-bumbu instant yang sangat berguna untuk masak makanan Indonesia di komunitas saya sekali-sekali. Pernah sekali saya masak nasi kunig, rendang padang, krupuk dan rempeyek serta kacang ijo. Dengan para mahasiswa Indonesia ini pula saya diajak berpartisipasi dalam menari poco-poco untuk ditampilkan di Kotsu Center, dekat terminal bis Kumamoto. Hanya berlatih dua kali hari Sabtu akhirnya saya pun bisa menari poco-poco. Satu pengalaman pertama dalam hidupku bahwa aku bisa menari poco-poco, biasanya selalu saya menghindar kalau ada tarian poco-poco karena memang tidak hafal.

Pengalaman Pastoral
Saya dipercaya untuk memimpin misa bahasa Inggris tiap minggu ketiga di gereja Musashigaoka di mana berkarya Pastor Renato Filippini, S.X. Yang hadir dalam misa bahasa Inggris kebanyakan adalah para ibu muda Filipina yang menetap di Jepang. Mereka datang bersama anak-anak mereka dan mayoritas suami mereka adalah orang Jepang yang bukan Katolik. Biasanya sekitar 40-50 an orang hadir dalam misa ini. Meskipun saya sudah bisa membaca misa dalam bahasa Jepang dengan tulisan Jepang namun saya belum diberi ijin oleh pastor paroki di sini. Namun sejak awal masa Pra-paskah 2009 ini saya diberi ijin untuk memimpin doa jalan salib di paroki yaitu di kapel kecil gereja Shimasaki ini dalam bahasa Jepang. Namun karena umat sibuk dan tidak banyak berdevosi dengan doa jalan salib maka yang datang maksimal 5 orang dan pertama kali tidak ada yang datang jadi saya sendiri yang mendoakan doa ini sambil berlatih membaca tulisan Jepang. Inilah kenyataan yang sangat berbeda dengan pengalaman doa bersama saat saya ada di Indonesia. Maka saya tidak heran lagi kalau yang datang hari-hari terakhir ini hanya satu ibu bernama Nunobe-San (74 tahun) dan saya beruntung sekali karena ibu ini dengan baik hati mengajak saya bercakap-cakap dalam bahasa Jepang sebelum dan sesudah doa jalan salib di kapel kecil itu.
Tiap Minggu di dalam gedung gereja Shimasaki ini hanya dirayakan misa sekali yaitu jam 9 pagi ang biasa dihadiri sekitar 80 umat dan mayoritas adalah ibu-ibu lansia. Sangat jarang ada anak muda dan anak-anak kecil pun sedikit jumlahnya. Di dekat parok ini ada satu susteran FMM yang memiliki sekitar 50 suster, semuanya Jepang. Mereka juga berusia lanjut bahkan ada yang berusia 103 atau sekitar 100 tahun ada 3 orang. Tiap hari pastor kepala paroki dan satu pastor Xaverian lain, kakak kelas saya dari Brasil yang berada di tahun kedua dalam belajar bahasa Jepang secara bergiliran memimpin misa harian di susteran FMM itu. Tiap Selasa saya mendampingi pastor kepala paroki untuk misa harian itu namun saya masih menjadi konselebran yang “membisu” karena belum diperkenankan untuk membaca bagian misa. Semuanya saya jalankan dengan penuh semangat dan ketaatan apa pun yang diminta oleh pimpinan.
Beberapa hari lalu saya ikut berpartisipasi dalam kegiatan anak muda di paroki ini yaitu berjalan kaki dari gereja selama 15 menit ke satu tempat lebih tinggi yaitu dekat kuburan Katolik di Kumamoto untuk merayakan misa. Mereka adalah anak-anak SMP dan SMA berjumlah 5 orang. Sepanjang jalan saya memberanikan diri untuk bercakap-cakap dengan mereka dalam bahasa Jepang. Sungguh suatu pengalaman yang sangat indah bisa bicara dengan anak muda Jepang karena selama ini saya sudah mencoba berbicara dengan umat ibu-ibu lansia setelah misa Minggu usai. Saya tidak malu dan segan untuk mengeluarkan perbendaharaan kata dan kalimat yang sudah saya pelajari dari sekolah atau saya pelajari sendiri. Kalau saya tidak tahu saya bertanya kepada mereka dan mereka pun tidak segan-segan mengoreksi saya.
Pengalaman yang indah lain adalah saya ditawari ikut berpartisipasi dalam lomba atau rekreasi sepeda di Beppu di awal Mei 2009 nanti oleh satu pastor Xaverian lain yaitu P. Fedele Ceruti, S.X. Seorang Jepang, teman pastor ini yang mengajak saya untuk turut lomba naik sepeda ini. Dalam dua bulan terakhir ini saya bicara lewat telepon dan juga email dengan Giuliano-San (Katolik) ini dan dia yang sangat baik sesuai kesan Pastor Ceruti dan saya sendiri meskipun belum berjumpa sendiri, telah menyiapkan sepeda dia untuk saya pakai dalam lomba funbike ini dan juga hotel yang sudah dia pesan baik di Beppu maupun di Oita. Saya berencana pergi sendiri ke Beppu dari Kumamoto hari Sabtu, 2 Mei 2009 dengan membawa sepeda lipat saya yaitu naik bis sekitar 4,5 jam.