Saturday, December 27, 2008

Natal 2008 di Kota Kumamoto, Jepang Selatan

Natal 2008 di Kota Kumamoto, Jepang Selatan
Oleh Alexander Denny Wahyudi, s.x.

Berikut ini sedikit laporan dan sharing pengalaman saya sebagai misionaris yang baru saja tinggal di Jepang selama hampir lima bulan ini. Saya menceritakan apa yang terjadi dalam suasana natal di ketiga paroki di Kumamoto yang sempat saya ikuti dalam perayaan natal tahun ini. Ketiga paroki itu adalah Shimasaki di mana saya tinggal, lalu Gereja Tettori di pusat Kota Kumamoto dan Gereja Musashigaoka yang terletak di pinggiran kota.

Suasana Natal di tahun 2008 di beberapa paroki di sekitar Kumamoto, Pulau Kyushu, Jepang Selatan sungguh memberikan kesan tersendiri bagi saya pribadi yang baru memulai hidup di tanah misi sebagai seorang misionaris. Tidak seperti di negeri kita Indonesia tercinta terutama di kota-kota besar seperti Jakarta di mana perayaan Natal selalu dihadiri banyak umat Katolik sampai di luar gedung gereja, di Jepang setidaknya dalam pengalaman pertama Natal di kota kecil seperti Kumamoto ini tidak banyak umat yang berlimpah memenuhi gereja. Memang jumlah umat yang datang saat misa Natal di gereja Shimasaki, Kumamoto tempat saya tinggal sekarang ini lebih banyak dibandingkan misa Minggu biasa. Bahkan mereka yang datang ke misa malam natal tunggal pukul 19.00 ini banyak yang bukan Katolik. Misa tunggal hari Minggu biasa tiap jam 9 pagi biasanya dihadiri sekitar 80 umat dan mayoritas ibu-ibu senior alias lansia namun sekali setahun gedung gereja yang berbentuk mirip UFO dari luar ini (berbentuk bundar) saat natal dipenuhi oleh banyak pendatang baru. Bahkan tim kor yang menyumbangkan lagu dengan gaya professional mereka yang terdiri dari bapak-bapak senior itu semuanya bukan Katolik namun mereka dengan semangat menyanyikan lagu-lagu Katolik baik dalam bahasa Latin maupun bahasa Jepang dengan merdunya. Mereka berjumlah sekitar 20 orang.

Misa malam natal ini diawali dengan perarakan oleh pastor paroki, Danilo Marchetto,sx yang sudah menjadi misionaris di Jepang selama 20 tahun bersama beberapa anak dengan berpakaian ala zaman Yesus yang memberikan gambaran sebagai Maria, Yosef dan beberapa gembala. Dalam perarakan di awal misa ini mereka mempersembahkan bayi Yesus di kandang gua natal yang berada di depan samping kanan altar. Lalu dilanjutkan dengan perayaan misa natal yang berlangsung selama 1,5 jam. Umat yang hadir berjumlah sekitar 300 orang. Dalam doa umat anak-anak yang turut dalam perarakan ini membacakan doa satu-persatu dari tempat duduk mereka. Secara umum perarakan natal ini tidak berbeda dengan misa natal lain di Indonesia. Hal yang membedakan adalah bahasa yang baru untuk saya yaitu bahasa Jepang. Dalam misa minggu biasa yang memberikan komuni biasanya hanya satu pastor atau dua pastor namun dalam misa natal ini kami bertiga turut bertugas membagikan komuni. Anak-anak kecil dan orang dewasa yang belum dibaptis pun mereka turut maju ke depan untuk menerima berkat dari pastor termasuk para anggota kor yang berpakaian jas hitam.

Setelah misa selesai, perayaan kebersamaan dilanjutkan dengan makan bersama di aula paroki dekat gereja yang diawali dengan “Kanpai” yaitu cheers dengan mengangkat gelas minuman masing-masing yang menjadi tanda selamat natal bagi semuanya. “Kurisumasu omedetou gozaimasu” (selamat natal) yang diawali oleh Matsumoto-San sebagai tokoh Katolik di paroki yang sebelumnya digembalakan oleh Misionaris Columban asal Irlandia dan sekarang dilayani oleh Misionaris Xaverian. Selanjutnya santap malam dengan model prasmanan atau standing party dengan menu sushi bar yang dipersiapkan oleh ibu-ibu paroki yang bekerja dengan penuh dedikasi. Karena banyak umat yang hadir dalam misa dan perayaan ini baru pertama kali berjumpa dengan saya maka beberapa dari mereka banyak menyapa dan bertanya kepada saya dengan keterbatasan bahasa Jepang yang sudah saya pelajari. Meskipun bahasa masih menjadi penghalang utama bagi saya untuk berkomunikasi dengan umat namun saya merasakan keterbukaan dan keramahtamahan umat dalam menerima kami sebagai gembala. Beberapa anak yang turut ambil bagian dalam perayaan bersama ini turut bergembira bersama saya dengan foto bersama dan sesekali saya memberikan salam dan bertanya sedikit seputar nama dan sekolah mereka. Setelah makan malam bersama ini selesai maka perayaan natal pun selesai, satu per satu umat kembali ke rumah mereka masing-masing. Di hari Natal 25 Desember di gedung gereja Shimasaki, Santa Theresia dari Kanak-Kanak Yesus ini tidak lagi dirayakan misa namun misa pukul 7 pagi dirayakan di kapel biara suster FMM yang memiliki sekitar 50 suster lansia yang tidak dapat datang ke gereja malam natal sebelumnya.

Di Kota Kumamoto ini ada satu paroki lain yang lebih besar dan terletak di tengah kota di mana banyak dijumpai pusat bisnis dan hotel. Gereja ini jauh lebih tua dibandingkan gereja di Shimasaki yang berjarak sekitar 3 kilometer. Gereja Tettori yang berusia lebih dari 100 tahun dan digembalakan oleh seorang imam diosesan Keuskupan Fukuoka ini merayakan misa malam natal dua kali yaitu jam 19.00 dan 22.00. Lalu, di hari Natal tanggal 25 Desember pukul 10.00 dirayakan misa natal di mana gedung gereja nampak penuh dengan misa pembaptisan seorang ibu lansia dan seorang bayi. Misa dirayakan dalam bahasa Jepang dan nampak banyak ibu-ibu lansia dengan kerudung putih saat misa sebagai tradisi gereja Katolik Jepang. Satu hal yang menarik dalam misa di Tettori ini adalah ada satu suster yang menjadi juru penerjemah dalam bahasa tubuh bagi umat tuna rungu dan tuna wicara. Sepanjang misa berlangsung bahkan dalam saat menyanyikan lagu-lagu misa pun suster ini terus berbicara dalam bahasa tubuhnya sebagai pelayanan bagi saudara-saudari yang tidak mampun mendengar dengan telinga namun mampu melihat dan mendengar dengan suara hati mereka.

Sekitar delapan kilometer dari Gereja Tettori ada lagi satu gereja Katolik yaitu di daerah bernama Musashigaoka di mana Pastor Renato Filippini,s.x. (39 tahun) asal Italia melayani sebagai gembala dalam tiga tahun terakhir ini. Gereja ini lebih mungil dibandingkan dua gereja di atas namun umat Katolik Jepang yang ada banyak keluarga muda. Di gedung gereja inilah saya tiap bulan melayani misa berbahasa Inggris yang kebanyakan diikuti oleh ibu-ibu muda asal Philipina yang menikah dengan orang Jepang dan biasanya suami mereka bukanlah Katolik. Dalam misa bahasa Inggris (selalu dalam minggu ketiga) bulan Desember ini dihadiri sekitar 50 umat termasuk anak-anak mereka. Setelah misa mereka merayakan natal bersama dengan permainan dan makan siang bersama yang berlangsung pula di dalam gedung gereja ini dengan terlebih dahulu ditutup dengan pintu pembatas antar altar dan gedung gereja yang berkapasitas sekitar 120 umat ini. Lain dengan dua gereja di atas yaitu Shimasaki dan Tettori, di gereja Musashigaoka ini umat yang masuk dalam gereja harus menanggalkan alas kaki dan memakai sandal yang tersedia di depan gereja. Hal ini menjadi tradisi Jepang yang masih dipelihara di gereja ini. Umat Philipina ini diundang pula untuk merayakan misa natal bersama umat Jepang lainnya di baik misa malam natal maupun di tanggal 25 Desember dengan tujuan agar persatuan antar mereka sebagai umat Katolik terwujud kendati berbeda budaya dan asal-usul. Demikian ditekankan Pastor Renato,s.x. sebagai kepala paroki Musashigaoka. Bahkan di bulan Januari nanti umat Philipina diundang untuk datang ke misa bersama suami mereka yang tidak beragama Katolik sebagai perkenalan awal bagi orang Jepang yang bukan Katolik itu, bukan untuk mengajak mereka menjadi Katolik namun turut merangkul mereka sebagai bagian dari perkumpulan dan kegiatan-kegiatan mereka.

Satu hal yang disayangkan tidak terjadi adalah saat misa malam natal di Shimasaki yang dihadiri sekitar 300 umat dengan konselebrasi 4 imam, pastor kepala paroki, Danilo Marchetto, s.x. tidak memperkenalkan kepada umat tentang siapa kami bertiga imam muda yang baru saja tinggal di Jepang selama hampir 5 bulan dan setahun lebih. Kami bertiga sedang belajar bahasa Jepang di YWCA Kumamoto. Kami adalah P. Michel da Rocha, sx (31 tahun) asal Brasil, P. Felipe Lopez Orozco,sx (36 tahun) dari Mexico dan saya sendiri, P. Denny Wahyudi,sx asal Indonesia. Namun demikian saat setelah misa kami memiliki kesempatan untuk beramah-tamah dengan umat dengan modal bahasa Jepang yang sudah kami dapat dari sekolah.

Dalam pembicaraan dengan beberapa pastor Xaverian yang berkarya di daerah Kyushu ini, saya mendapatkan kesan bahwa kepenuhan dan target karya kerasulan mereka tidak berdasarkan pada kuantitas umat yang datang ke gereja namun lebih pada kualitas. Memang sulit bermisi di Jepang kalau mengandalkan jumlah umat dan baptisan karena banyak gereja yang berukuran mini dalam kuantitas seperti satu lingkungan kecil di satu paroki besar di Jakarta misalnya. Bahkan 10-50 orang saja saat misa hari Minggu. Itulah tantangan hidup mengereja di Jepang ini yang memiliki jumlah umat Katolik sekitar 450 ribu orang Jepang dan setengah juta Katolik orang asing yang berasal dari Brasil, Mexico, Peru, Philipina dan juga Indonesia di kota-kota besar seperti Osaka, Tokyo dan Nagoya.

Friday, April 11, 2008

Panggilan Xaverian Indonesia saat ini dan masa yang akan datang

Panggilan Xaverian Indonesia saat ini dan masa yang akan datang.......Re: [sahabat_xaverian] Diakon Marcel Rantetaruk Akan Ditahbiskan Imam

Terima kasih Frater Ronald di Yogyakarta,
atas update berita2 nya melalui mailist yahoo ini.
Salam persaudaraan dan panggilan bagi para fater sx Indonesia di mana pun berada...juga para Xaverian di seluruh dunia...dengan surat dan renungan ini saya menyapa Anda semua...

Terima kasih banyak atas informasi2 yang berguna bagi kita semua di perantauan yang datang dari mailist yahoogroup asuhan Frater Ronald....(mengingat seringkali kami yang di luar Indonesia ini kurang mendapatkan informasi ttg keluarga kita SX di Indonesia).....juga kabar gembira tentang diakon Marsel...saya sebagai teman seangkatannya pasti bahagia mendengar kabar pasti ini...
bbrp hari lalu aku merenungkan satu tema yaitu barisan imam sx Indonesia yang ada sekarang ini di segala penjuru dunia...kalau boleh secara kronologis aku mendaftar mereka seingatku skg ada 18 imam sx Indonesia. Untuk sementara angkatan novis ke-12 (1997-1998 dengan Magister Novis Pastor Bruno Orru serta magister pranovis Pastor Nico) yaitu angkatan kami (Utomo, Denny, Dharmawan, Marsel serta Made) yang paling banyak dalam jajaran seluruh angkatan yang masih bertahan hingga saat ini....nah saya berharap angkatan2 berikutnya bisa mengalahkan record kami....

Inilah daftar mereka sesuai urutan tahun tahbisan:
1. Romo Priyono di Brasil Utara (di Mlati, Yogyakarta Okt. 1995)
2. Romo Gerris di Bintaro (Grj Mateus-Bintaro, Juli 1996)
3. Romo Anton di Bangladesh (Grj Mateus-Bintaro, Juli 1996)
4. Romo Vitus Rubianto skg studi doktorat Kitab Suci di Gregoriana Univ. Roma(mid 1997 di Kentungan Yogyakarta)
5. Romo Suhud di Bangladesh (mid 1999 di Grj Pakem Yogyakarta)
6. Romo Yulius di London menuju ke Bangladesh (Januari 2000 di Paroki Padang Baru, Padang)
7. Romo Sudarmanto di Mentawai (mid 2000 di Kentungan Yogyakarta)
8. Romo Sutiyo di Aek Nabara Sumut (mid 2002, di paroki st. FX Kidul Loji, Yogyakarta)
9. Romo Yakobus di Younde Kamerun (mid 2002, di paroki st. FX Kidul Loji, Yogyakarta)
10. Romo La Nike di Yogya (2002...tahbisan terpisah, di Toasebio awal Nov 2002)
11. Romo Tri skg di Brasil Utara (Desember 2003, di Wedi Klaten)
12. Romo Natty...Kamerun (awal 2005 di Sulsel)
13. Romo Petrus Hardiyanto (akhir Juni 2005 di Grj Purbowardayan, Solo)
14. Romo Ignatius Zaluchu (15 Agst 2007, Grj. Mateus Bintaro, Jkt)
15. Romo Maryono Heronimus (15 Agst 2007,Grj Mateus Bintaro, Jkt)
16. Romo Utomo Wijayanto (15 Agst 2007, Grj. Mateus Bintaro, Jkt)
17. Romo Denny (15 Agst 2007, Grj. Mateus Bintaro, Jkt)
18. Romo Dharmawan (15 Agst 2007, Grj. Mateus Bintaro, Jkt)

lalu........
di tahun 2008 ini akan ada tahbisan untuk romo sx ke-19 yaitu Marsel
....terus dalam catatanku sendiri di tahun2 yad ada tahbisan pasti karena skg jumlah frater sx indonesia di kelima teologi internasional ada 17 orang...maka perkiraanku seperti ini:

tahun depan yaitu tahun 2009 ada 4 calon yaitu
20. Agung skg studi teologi di Kamerun
21. Hebry juga di Kamerun
22. Harno di Chicago
23. Alfons di Parma Italia
keempat frater di atas semoga akhir tahun ini ikrar kaul kekal dan diakonat

lalu tahun 2010 ada berapa calon yah...
24. Made (Mexico)
25. Nyoman (Kamerun)
26. Madya (Parma)
27. Purnomo (Philipina)
28. Agus (Mexico)

di tahun 2011 ada bbrp calon nih...keduanya ke Mexico tahun 2006 lalu
29. Afendi (Mexico)
30. Rendhi (Mexico)

di tahun 2012 ada 5 yang baru mulai ke TI tahun lalu:
31. Felix (Philipina)
32. Ino (Philipina)
33. Mulyadi (Mexico)
34. Rony (Kamerun)
35. Satyo (Italia)

di tahun 2013 ada 5 calon yaitu lima yang akan ke TI tahun 2008 ini yaitu
36. Wira
37. Ronald
38. Dedy
39. Ignas
40. Andi Nalu

di tahun 2014 ada 4 calon (yang mg depan akan ujian skripsi)
41. Heri
42. Washington
43. Yonas
44. Budi

tahun 2015 ada dua calon
45. Denis
46. Yanto

tahun 2016 ada byk calon yaitu 9 (ini record kalau utuh)...mrk skg sudah tingkat 2 filsafat
47. Yanuar alias Yance
48. Kristo
49. Eko
50. Eng Hui
51. Heron
52. Nilton
53. Juang
54. Hotman
55. Hibur

tahun 2017 nanti ada 6 calon (skg tingkat 1 filsafat):
56. Anselmus
57. Adrianus
58. Agni
59. Stefanus
60. Petrus
61. Primus....

NB: mungkin kalau ada daftar nama2 yang terlupakan atau kekeliruan di atas....mohon maaf dan tolong disempurnakan...

Nah di atas perhintunganku itu...bakal banyak yah sx indonesia mewarnai misi sx di dunia...maka dari hari2 kemarin aku menghitung2 dan akhirnya terlaksana aku menuliskannya serta berbagi di mailist ini...saya pasti akan selalu mendukung dengan doa2 saya dari sini serta mempersiapkan jalan di Jepang nantinya bagi siapa saja yang mau menyusul...silahkan...ada keoptimisan tuk panggilan2 di masa depan maka saat inilah kita saling mendukung dalam doa2 dan rencana jangka panjang...inilah mimpi dan doaku bagi kita semua yang namanya tercatat dalam email ini...semoga Tuhan yang memanggil, Tuhan pulalah yang terus menguatkan kita dalam mengarungi misi kita masing2 di mana pun kita berada...

Panggilan sx di Asia saya kira sangat tergantung dg para tunas Indonesia...maka di hari depan yang cerah dengah personel yang ada di atas, kita semua bisa bermimpi, sambil mengucap syukur atas panggilan2 agung ini dan juga mengingat jasa2 para formator kita semua Pastors: Ferarri, Geremia, Laurenzi, Bruno, Fernando, Matteo, Nico Macina, Angelo Cappannini, Ciroi, Daniel Cambielli, Suhud, Salvador, Ruby, Robledo, Gerris, Maryono, Lanike, Morini, Corda, Bruder Mancini, dst...

Semoga tidak hanya dalam segi jumlah atau kuantitas saja tapi juga diiringi dengan kualitas....menjadi kenyataan bagi hidup panggilan kita dari hari demi hari (Mazmur 90:12 = ajarlah kami menghitung-hitung hari kami sehingga kami beroleh hati yang bijaksana).

Maka tepatlah dalam Minggu Panggilan nanti, 13 April 2008, Minggu Paskah IV, kita semua memiliki ujud doa2 bagi kita sekalian, rajawali2 sx Indonesia...kiranya kita satu dalam doa dan spirit keluarga besar Xaverian semuanya...

Ini sedikit renungan dan mimpiku bagi kita semua mengingat keterbatasan panggilan di negara2 maju seperti Eropa dan Amerika juga Asia (Philipina dan Bangladesh) dan di masa mendatang barangkali akan berimbas pula di negara kita tercinta, maka panggilan yang sudah ada ini kita pelihara dengan baik supaya awet dan kekal abadi kasih setia kita dalam panggilan ini seperti kasih Bapa bagi kita secara pribadi dan komuniter...

Salam Hari Panggilan Sedunia bagi Anda semuanya,
Ancona, sore hari Jumat, 11 April 2008.
Denny, sx




“Only the good and rational person
is capable of true friendship,
for reason stirs up and nourishes friendship”
(Francis DeSales)

Alexander Denny Wahyudi, sx
Xaverian Missionaries
1347 East Hyde Park Boulevard
Chicago, Illinois 60615-2924

Phone 773 643 5745 Fax 773 643 6907

Website:
http://www.xaviermissionaries.org
and
and


----- Original Message ----
From: rey_tar <rey_tar@yahoo.com>
To: sahabat_xaverian@yahoogroups.com
Sent: Friday, April 11, 2008 4:05:50 PM
Subject: [sahabat_xaverian] Diakon Marcel Rantetaruk Akan Ditahbiskan Imam

Dear Friends kita bersyukur satu lagi frater kita yang akan
ditahbiskan imam. Dia adalah frater diakon Marcel Rantetaruk. Setelah
menyelesaikan studi masternya di Loyola School of Theoloy, Atteneo de
Manila University, ia akan balik ke tanah air minggu depan. Rencananya
dia akan menjalani retret dulu di Girisonta sebelum ditahbiskan di
Paroki Ratu Rosari Toraja 27 Juni mendatang.

Wednesday, April 09, 2008

Il missionario è poliglotta
Aprile 2008

Il missionario è poliglotta
Dall’Indonesia al Giappone, via Ancona
di: p. Denny Wahyudi, sx


Sono nato nell'isola di Giava, in Indonesia. I miei genitori si sono sposati con rito cattolico, ma non mi hanno battezzato da piccolo. Ho chiesto il battesimo all'età di 16 anni, per mia decisione personale. In seguito, ho sentito il desiderio di diventare sacerdote. Leggendo una rivista cattolica, ho potuto conoscere i missionari saveriani e ho scritto.

Un vero giramondo!

Alle mie lettere, da Yogyakarta, rispondeva padre Silvano Laurenzi, un saveriano di Ascoli Piceno. Sono stato molto felice di conoscere lui e i saveriani. Dal momento che la mia famiglia, soprattutto mio padre, non era d'accordo con la mia idea di diventare prete, dopo il liceo decisi di lavorare a Giakarta per tre anni. Poi, nel 1996, sono entrato dai saveriani a Giakarta.
Eravamo un gruppo di 15 giovani aspiranti provenienti da varie regioni dell'Indonesia, sotto la guida spirituale di p. Macina e di p. Orrù. Otto abbiamo fatto la professione dei voti religiosi. Dopo quattro anni di studi filosofici, nel 2002 sono stato destinato agli Stati Uniti per studiare teologia, nella comunità saveriana di Chicago. Come diacono, ho prestato servizio presso la nostra parrocchia saveriana a Chinatown di Chicago con p. Davitti e p. Salicone.


Sono stato ordinato sacerdote a Bintaro, nella periferia di Giakarta, il 15 agosto 2007, nella parrocchia dove lavorano p. Laurenzi, p. Marini e p. Orrù. Insieme a me, sono stati ordinati altri quattro saveriani indonesiani: Utomo, Maryono, Ignatius e Dharmawan. Oltre duemila persone hanno partecipato alla celebrazione. Con noi, il numero dei preti saveriani indonesiani è ora salito a 18.

Ma perché in Italia?
Ora sono in Italia per imparare l'italiano. Da ottobre vivo nella comunità del noviziato di Ancona e p. Piermario Tassi è il mio insegnante. Dopo quattro mesi di studio, accompagnato da p. Narciso, ho avuto il coraggio di presiedere la Messa in italiano e di tenere l'omelia nella parrocchia di Varano.


Ho cominciato così: "Nel viaggio verso la chiesa, ho visto sulla strada questa scritta: «Varano, il paese dei dialetti». Ecco, sono venuto a celebrare la Messa per parlare l'italiano con il mio accento indonesiano...". Ho letto quello che avevo preparato ed è andata molto bene, tanto che ho avuto anche gli applausi dei parrocchiani!

A luglio partirò per il Giappone con il confratello messicano p. Felipe Lòpez. Anche lui studia italiano ad Ancona. Molti mi chiedono cosa c'entri l'italiano con il Giappone. Beh, è strano; ma i saveriani in Giappone, nei loro incontri e per i documenti religiosi, usano l'italiano. Arrivati lì, almeno per due anni, dovremo studiare il giapponese per il nostro apostolato.
Pregate per noi affinché possiamo avere la perseveranza per imparare tante cose nuove nelle diverse lingue e culture.


http://www.saverianibrescia.com/missionari_saveriani.php?centro_missionario=archivio_rivista&rivista=2008-04&id_r=29&sezione=vita_saveriana&articolo=il_missionario_poliglotta&id_a=813

Tuesday, March 04, 2008

"Affida al Signore la tua attività e i tuoi progetti riusciranno" (Proverbi 16,3)

La mia comunità ad Ancona, Italia




Di atas adalah foto komunitasku di Ancona, Italia...

On Saturday, February 23, 2008, the bishop of Ancona, Edoardo Menichelli visited our community that consists of 13 persons (10 Xaverian priests and 3 novices).

Standing from the left side: Francesco Grasso, Giuseppe Bardelli, Piermario Tassi, Simone Strozzi-novice, the Bishop, a permanent deacon of Ancona, Denny (myself), Aguado Orta Carlos, Xavier Martinez (novice of Spain), Piergiorgio Venturini.

Below from the left side: Giovanni Mateazzi-the master of novices, the assistant of the Bishop, Andrea Faccheti-novice, Felipe Orozco, Narciso.


Il mio nome è Alexander Denny Wahyudi. Sono nato a Madiun, Java Est, Indonesia. I miei genitori si sono sposati nella chiesa cattolica, ma io non sono stato battezzato quando ero bambino. All'età di 16 anni ho deciso di essere battezzato come cattolico. Ho due sorelle più anziane e due fratelli più giovani. Subito dopo il battesimo ho partecipato attivamente nelle varie attività cattoliche. Poi, un giorno, ho sentito il desiderio di diventare sacerdote. Leggendo una rivista cattolica, HIDUP, ho potuto conoscere i Missionari Saveriani. Padre Silvano Laurenzi, SX a Yogyakarta ha risposto alle mie lettere. Sono stato molto felice di conoscere lui e questa congregazione attraverso le riviste degli studenti Saveriani in Indonesia. Dal momento che la mia famiglia, soprattutto mio padre, non era d’accordo con la mia idea di diventare prete, decisi di lavorare a Giakarta dopo il liceo finito nel 1993.

Dopo aver lavorato per 3 anni, sono entrato dai Saveriani a Giakarta. Nel agosto del 1996, durante il pre-noviziato, eravamo 15 aspiranti, sotto la guida di Padre Nico Macina. In noviziato eravamo rimasti solo in 10 e avevamo come Maestro il Padre Bruno Orrù. Infine, solo in 8 abbiamo fatto la professione. In seguito abbiamo studiato per quattro anni filosofia a Giakarta. Nel 2002 sono stato destinato agli Stati Uniti per studiare teologia. Ho passato il primo anno a Franklin con la comunità dei Saveriani per imparare l'inglese. Poi per tre anni sono stato a Chicago con altri studenti di teologia sotto la guida di Padre Rocco Puopolo, di Padre Pascal Kasanziki e di Padre Vittorio Bongiovanni. Durante l’ultimo anno di permanenza negli Stati Uniti, come diacono, ho prestato servizio presso la nostra parrocchia a Chinatown di Chicago con Padre Michele Davitti e Padre Aniello Salicone.

Dopo undici anni di formazione come Saveriano, infine, sono stato ordinato sacerdote il 15 agosto 2007 presso la parrocchia di S. Matteo a Bintaro, Giakarta. Eravamo cinque Saveriani indonesiani ordinati nello stesso giorno. Grazie ai Padri Silvano Laurenzi, Francesco Marini e Bruno Orrù che lavorono in questa parrocchia e abbiamo avuto la fortuna e la gioia di avere proprio qui questa speciale celebrazione. All’ottima riuscita di questa festa hanno collaborato la generosità della nostra Provincia Saveriana in Indonesia (Padre Vincenzo Baravalle come superiore) e dei fedeli cattolici della parrocchia. Numerosi nostri parenti e circa 2000 persone hanno partecipato alla nostra ordinazione. Noi cinque neo-ordinati (Utomo, Maryono, Ignatius, Dharmawan e io) eravamo destinati a cinque paesi diversi; con noi il numero dei preti Saveriani indonesiani diventa 18.

Un mese dopo aver celebrato la prima Messa, sono stato inviato in Italia per imparare l’italiano. Dal 1° ottobre 2007 vivo nella comunità noviziato ad Ancona. Padre Piermario Tassi è il mio insegnante di lingua italiana. A poco a poco ho iniziato a conoscere l’italiano. Dopo quattro mesi, ho avuto la possibilità e il coraggio di presiedere la Santa Messa, accompagnato da Padre Narciso Passuello, nella parrocchia di Varano, usando la lingua italiana tra cui l'omelia. In viaggio verso la chiesa, ho visto sulla strada questa scritta: “Varano, il paese dei dialetti.” Ecco, sono venuto a celebrare la messa per parlare un italiano con il mio accento indonesiano, giavanese. Ho letto quindi quello che avevo preparato ed è andato molto bene ed ho avuto applausi dai parrocchiani. Mi piace essere qui in Italia e conoscere altri Saveriani nelle varie comunità, prima di andare in Giappone verso la metà di luglio.


Spesso la gente mi chiede percherché devo imparare l'italiano prima di lavorare in Giappone. Non è mia volontà, ma un requisito della provincia Saveriana in Giappone. La lingua e i documenti (nelle nostre comunità Saveriane) sono in italiano; dovrò naturalmente imparare il giapponese, nei primi due anni, per il mio apostolato. Mi recherò in Giappone con il mio confratello messicano, Padre Felipe Lòpez; anche lui studia l’italiano ad Ancona. Per favore, pregate per noi perché abbiamo zelo e perseveranza come missionari per imparare tante cose nuove nelle diverse culture. Dopo tutto, vorrei dirmi: "Affida al Signore la tua attività e i tuoi progetti riusciranno" (Proverbi 16,3)

Ini fotoku bersama dengan Padre Felipe Orosco de Jesus asal Mexico. Both of us will be going to Japan this year....

Sunday, March 02, 2008

La Storia di Vita e Vocazione di Padre Alexander Denny Wayudi, SX

La Storia di Vita
e Vocazione
di
PADRE ALEXANDER DENNY WAHYUDI, SX

“Affida al Signore la tua attivita
e i tuoi progetti riusciranno”
(Porverbi 16:3)


Nato a Madiun, il 24 novembre 1974 dalla famiglia del Signor Johnny Indrata e della defunta Signora Maria Indrawati. Sono nato all’ospedale cattolico “Panti Bagija,” diretto dalle sorelle Missionarie di Claris Sanctissimi Sacramenti (M.C.) originarie dal Messico. Nella famiglia sono il terzo figlio tra due sorelle e due fratelli.

- 1979-1981: sono sempre andato a scuole materne cristiane: alla “Widya Wacana” a Solo; alla “Marsudirini”sempre a Solo e alla “Santo Bernardus” (diretto dalle Sorelle Ursuline, OSU) a Madiun, nella provincia di Java Est.
- 1981 - 1987: frequento la scuola elementare cattolica San Giuseppe (diretto dai Fratelli Religiosi “Santo Aloysius,” CSA) a Madiun.
- 1987 - 1990: vado alla scuola pubblica media inferiore “SMP Negeri 2” a Madiun.
- 1988 - 1990: divento un catecumeno al convento del Noviziato delle sorelle Missionarie di Claris Sanctissimi Sacramenti (M.C.), Jalan Mundu a Madiun.
- Il 24 dicembre 1990: ricevo il battesimo da Padre Sebastiano Fornasari, C.M. nella chiesa cattolica Santo Cornelius, a Madiun.
- 1990 - 1993: passo alla scuola pubblica media maggiore “SMA Negeri 2” a Madiun.
- Agosto 1993 - dicembre 1993: lavoro a Rapico Foto, a Menteng e Adorama Foto, Jalan Kemang Raya, a Giakarta.
- Gennaio 1994 - maggio 1996: lavoro in un’azienda P.T. Surya Pertiwi (TOTO), Jalan Pinangsia e Jalan Tomang Raya, a Giakarta.
- Agosto 1996 - maggio 1997: faccio il pre-noviziato dai Missionari Saveriani a Bintaro, Jakarta. Faccio anche un po’ di ministero come insegnante alla “Scuola Domenica” per fanciulli della parrocchia di “Keluarga Kudus,” a Pasar Minggu, Giakarta.
- Luglio 1997 - giugno 1998: inizio il noviziato dai Missionari Saveriani a Bintaro, Giakarta. Faccio anche un po’ di ministero come incaricato sociale nella parrocchia di “Santo Thomas Rasul” a Bojong Indah, Giakarta per sei mesi. Poi riprendo l’insegnamento alla “Scuola Domenica” della parrocchia di “Keluarga Kudus” a Pasar Minggu, Giakarta.
- Il 21 Giugno 1998: faccio la prima professione religiosa.
- 1998 - 2002: studiando gli studi filosofici e teologici presso la Scuola Filosofica Driyarkara a Giakarta. Avendo fatto varie ministeri pastorale: l’insegnare i catechumeni della Università Bina Nusantara a Giakarta e della parrocchia di “Santo Petrus Paulus” a Mangga Besar, Giakarta; il dialogo interreligioso e l’insegnare il corso di religione cattolica nelle scuole publiche (media inferiore e maggiore), cioè SMP Negeri 4 Giakarta, SMA Negeri 2 Giakarta e SMA Negeri 5 Giakarta.
- Novembre 2002 - agosto 2003: studiando l’Inglese come seconda lingua nella Scuola Teologica del Sacro Cuore, al Hales Corners, Wisconsin, negli Stati Uniti.
settembre 2003 - maggio 2007: studiando gli studi teologici per ottenere i diplomi Magisteri di Divina (M.Div) e di MA (Master of Arts) in teologia di spiritualità presso la Scuola Teologica CTU (Catholic Theological Union) a Chicago.
- il 6 maggio 2006: ho fatto la professione perpetua nella cappella dei Saveriani a Franklin, negli Stati Uniti dell’America.
- il 14 maggio 2006: sono stato ordinato diacono da Mgr. John R. Gorman nella chiesa di Santa Teresia di Gesù Bambino Chinese Mission a Chicago, negli Stati Uniti.
- il 4 settembre 2006 - il 4 giugno 2007: facendo ministero pastorale come un diacono da nove mesi nella chiesa di Santa Teresia di Gesù Bambino Chinese Mission a Chicago, negli Stati Uniti.
- il 15 agosto 2007: sono stato ordinato presbitero da Julius Cardinal Darmaatmadja, S.J. nella chiesa di San Matteo a Bintaro, Giakarta.



Quanto è grande l'amore di Dio che mi ha data questa vocazione missionaria presso i Missionari Saveriani. Come è nata? I miei genitori si sono sposati nella chiesa cattolica, ma io non sono stato battezzato quando ero bambino. All'età di 16 anni ho deciso di essere battezzato come cattolico. Subito dopo il battesimo ho partecipato attivamente nelle varie attività cattoliche. Poi, un giorno, ho sentito il desiderio di diventare sacerdote. Leggendo una rivista cattolica, HIDUP, ho potuto conoscere i Missionari Saveriani. Padre Silvano Laurenzi, SX a Yogyakarta ha risposto alle mie lettere. Sono stato molto felice di conoscere lui e questa congregazione attraverso le riviste degli studenti Saveriani in Indonesia. Dal momento che la mia famiglia, soprattutto mio padre, non era d’accordo con la mia idea di diventare prete, decisi di lavorare a Giakarta dopo il liceo finito nel 1993.


Nella chiesa di San Francesco Saverio, a Kidul Loji, Yogyakarta ho potuto sentire un vero calore umano quando, per la prima volta, ho incontrato Padre Laurenzi, sempre pieno di entusiasmo. Ero a Yogyakarta perché mia nonna era stata ricoverata nell’ospedale Bethesda a Yogyakarta. Da allora mi sono proiettato nella vita degli studenti Saveriani come avevo spesso letto sui loro giornali. Ogni volta che li ricevevo e li leggevo, potevo sentire che ormai la famiglia Saveriana era la mia. Non c'è da stupirsi se conosco molti nomi dei Saveriani studenti ed ex studenti che hanno studiato filosofia a Giakarta, anche se non li ho mai incontrati. Ho continuato a seguire la loro crescita finché un giorno ho visto maturare il primo frutto con l’ordinazione sacerdotale di un Saveriano indonesiano nella chiesa di Mlati a Yogyakarta, cioè Padre Albertus Priyono. Fu nel mese di ottobre 1995. Per essere presente a questo straordinario avvenimento, avevo deciso di prendermi una pausa nel mio lavoro.


In seguito ho lavorato a Giakarta per un periodo di tre anni e ho avuto il tempo di pensare, ripensare e quindi dire a me stesso: “Sì, sono pronto ad entrare e affrontare la prova.” Il mio primo incontro è stato con Padre Nico Macina, nella Casa Saveriana di filosofia, Cempaka Putih, Giakarta. Nel mese di febbraio 1996 a Bintaro, superata la prova psicologica, il test di ingresso alla scuola di Filosofia e dopo aver avuto colloqui con alcuni Saveriani, mi è stato consentito di entrare in questa Congregazione direttamente, senza dover entrare in un seminario minore, per la preparazione. In questo lavoro mi ha aiutato anche il Padre Silvano Laurenzi. Due mesi dopo, sono accettato nel pre-noviziato a Bintaro, la cui costruzione io avevo visto fin dall’inizio. In quel tempo nella mia classe eravamo 15 aspiranti e io ero l'unico che non proveniva da un seminario. Spesso gli amici scherzavano per la mia provenienza dal… "Seminario di TOTO", perché in effetti avevo lavorato presso l’azienda di TOTO per due anni e mezzo. Giorno dopo giorno ho camminato su questa strada, pieno di zelo, con alti e bassi, con esperienze positive e negative che hanno dato un contribuito significativo alla mia vita personale.

La mia famiglia che prima non era d'accordo con la mia aspirazione a diventare sacerdote, poi, lentamente ha accettato la mia decisione. Loro sono molto orgogliosi di me, soppratutto mio padre. Sono sicuro che tutto questo ha contribuito a continuare in questa grande vocazione. Sto riscontrando una grande fiducia in Dio e un grande desiderio di seguire la Volontà per il mio futuro. Ho capito che questa vocazione non è facile, per cui trovo sempre piu' vere le parole del Signore meditate quando sono entrato dai Saveriani: "Se qualcuno vuole venire dietro a me, rinneghi se stesso, prenda la sua croce ogni giorno e mi segua" (Lc 9: 23). Ma nella mia vita in questo tempo c'é stata una tale abbondanza di grazie da parte di Dio per cui tutto mi é stato piu' facile. Una di queste grazie e' stata la possibilita' di studiare teologia a Chicago, negli Stati Uniti d'America. Tutto questo mi spinge ogni giorno a rendere grazie al Signore e mi da' entusiasmo per continuare con fedeltà nella mia vocazione. Penso inoltre che da solo non avrei potuto permettermi di andare a studiare all'estero, sopprattutto in una universita', se non fossi stato un Saveriano. Molte sono state le sfide che ho dovuto affrontare sia in Indonesia, sia negli Stati Uniti d'America, ma tutte sono state alla fine superate perché come dice San Paolo "Tutto posso in Colui che mi da' la forza" (Flp 4,13).


Infine, si potrebbe dire che la mia vocazione a diventare missionario Saveriano sia veramente volonta' di Dio, perché negli ultimi undici anni, molte cose imprevedibili sono diventate realtà. Molti giovani erano stati chiamati dal Signore con me, ma anche molti Lo hanno abbandonato. La mia classe e' stata anche privilegiata, perche' avendo iniziato con 15 giovani, siamo arrivati in cinque! Tre di noi siamo stati ordinati sacerdoti il 15 agosto 2007, cioè: Utomo, Dharmawan e io stesso. Un altro, Marsel, orginario da Toraja, studia ancora teologia a Manila. Lui sarà ordinato quest'anno. L'ultimo si chiama Made ed e' nato nell'isola di Bali. Lui ha studiato teologia a Città del Messico per tre anni. Adesso lui è a Giakarta perché non ha potuto rinnovare il visto per ritornare in Messico. Forse lui continuerà a studiare teologia a Giakarta. Prego sempre il Signore per tutti i giovani confratelli Saveriani e sono grato al Signore per la vocazione data a ciascuno di loro. Non dimentico di pregare per tutti i miei ex-colleghi, perche' vivano bene nella società come laici. Anche loro, che hanno vissuto una esperienza di fede con i Saveriani, possono essere sale e luce per il mondo, come cattolici impegnati. Mi piace esprimere i miei cordiali ringraziamenti alla mia amata famiglia Saveriana, ai miei formatori, ai dipendenti nelle case di formazione, ai miei maestri e professori, ai parenti, e soprattutto alla mia famiglia. Voglio anche ringraziare tutti quelli che erano presenti alle solenne cerimonia della nostra ordinazione sacerdotale: benefattori, amici, fedeli, in modo particolare l'arcivescovo di Giakarta. L'amore di tutti voi hanno dato un significato più alto alla mia vita e trovo quindi giusto continuare ad esservi grati.

Adesso è il momento di chiedere le vostre preghiere per ottenere la grazia della fedeltà in questa grande e meravigliosa missione, come sacerdote missionario nella amata famiglia Saveriana. Come primo incarico mi attende una missione in Giappone, preceduto dallo studio della lingua italiana ad Ancona, Italia, per 10 mesi. Per questa intenzione vorrei dire a me stesso: “Affida al Signore la tua attività e i tuoi progetti riusciranno” (Porverbi 16:3)


La Mia Esperienza nel CPE 2005

La Mia Esperienza nel CPE


Nell’estate del 2005, era solo un sogno l’andare come cappellano e studente al programma del CPE (Clinical Pastoral Education) all interno dell’ospedale ABMC (Alexian Brothers Medical Center) a Chicago. Coll’aituo del mio compagno Ezekiel Mapa, membro dell’Istituto Religioso Alexian Brothers, ho potuto realizzare questo mio sogno.

Ma mi attendevano ancora lunghe pratiche burocratiche durante 4 mesi. Molte cose ho raccontato nel mio giornale quotidiano. Questi ricordi sono ancora nella mia mente e nel mio cuore, soprattutto le molte grazie avute gratuitamente da tanta gente. Ringrazio Dio per le preziose esperienze ricevute, giorno dopo giorno, all’interno di questa scuola (CPE) esperienze che forse si provano una sola volta durante la formazione di un sacerdote religioso missionario.

Vivendo con i Fratelli di Alexian Brothers nella vita quotidiana e partecipando alla loro spiritualità religiosa, ho vissuto di nuovo l’esperienza meravigliosa provata nella mia formazione di 9 anni nelle case Saveriane. Il motto dei Fratelli Alexian Brothers “Caritas Christi Urget Nos” è lo stesso motto del fondatore dei Missionari Saveriani, il Beato Guido Maria Conforti di Parma, Italia. Durante il mio soggiorno con loro ho visto realizzato dai Fratelli lo spirito di questo motto. Sono stato accolto dai più anziani come un fratello più giovane. A poco a poco io ho conosciuto i loro nomi, vivendo con loro nei momenti di preghiera (lodi, vespri, etc) e durante i pasti (colazione-cena). Mi ricordo dove stavano seduti in cappella; a partire dall’ala sinistra: fratel Valentino, Daniel, Philip (quasi subito trasferito a Tennessee), John Kim, Victor (Cinese), Ronald, Felix. Passo poi all’ala destra: fratel James Darby, Tom, io stesso, Eugene, Larry, Ted Ezekiel (Zeke) e James Klackson. I miei ringraziamenti vanno quindi a tutti i Fratelli di Alexian Brothers che mi hanno accolto come ospite gradito per 11 settimane. È stata un’ ottima ospitalità che non dimenticherò nella mia vita. Non so come potrei esprimere la mia gratitudine per questa grazia speciale, ma prometto di ricordarli in futuro nelle mie preghiere, in occasione della mia professione perpetua e della mia ordinazione diaconale nel prossimo anno. Loro tutti sono parte preziosa nella mia formazione al sacerdozio.

Nel CPE, il mio apprezzamento e la mia gratitudine a tutti i membri del dipartimento di spiritualità, specialmente a Digna e a James che sempre mi hanno accompagnato in questo viaggio. Il pianto, la gioia, le divergenze, il ‘Verbatim’ (dialogo e resoconto con i pazienti dell’ospedale) sono stati il menu di ogni giorno. Ai miei compagni: Annie, Dirk e Eric, dico: “Che privilegio il conoscervi e l’essere stati con voi durante 11 settimane.” Abbiamo realizzato insieme il nostro programma del CPE e completato gli studi teologici richiesti dal ministero futuro. Ringrazio, per gli esempi e le attenzione, i cappellani e il personale che mi addestravano: Linda, Sandy, Dave, Rosemary, Ken, Marty, Bob, Beth, Theresia, Padre Bill, Padre Andrei e Padre Stan. I loro nomi sono scritti sul mio diario e resteranno nella mia memoria per tutta la mia vita.

Finalmente vorrei esprimere la mia gratitudine per l’accoglienza cordiale di tutti gli infermieri nel primo periodo all’unità 6 Ovest, Nennete e altri, e nel secondo periodo all’unità 3 Ovest, Joanel e altri. Il mio ringraziamento anche a tutti quelli di cui non conosco i nomi, nei loro dipartimenti. Prego per tutti i pazienti incontrati nelle mie visite (che forse potrebbe raggiungere il numero di mille). Ho incontrato Gesù nella loro sofferenza e nella loro speranza in un mondo presente e in un mondo futuro. Conserverò nella mia memoria i loro visi e le conversazioni avute con voi; li avrò sempre presenti nella mia preghiera. Grazie per la loro accoglienza e anche… per le loro divergenze.

Sunday, February 03, 2008

Domenica, 03 febbraio 2008 (la mia prima messa nella lingua italiana)

Domenica, 03 febbraio 2008

Oggi è la quarta domenica del tempo ordinario nel calendario della liturgia. Dopo quattro mesi della mia permanenza ad Ancona, Italia, e d’imparare l'italiano, finalmente oggi per la prima volta nella mia vita, ho presieduto la santa messa in lingua italiana, accompagnati da Padre Narciso. Lui mi ha offerto ieri presiederla. Prima della messa avviato, il parroco ha portato il rito delle candele obbedendo il giorno di San Biagio. Si è svolta presso la chiesa di Varano, San Pietro Martire, a circa dieci minuti da casa nostra Saveriani. Le persone che hanno partecipato alla messa sono soprattutto giovani e bambini. Anche durante la messa alcune ragazze suonato chitarre e cantato alcune canzoni. Si tratta di una chiesa vita ho mai visto qui, ad Ancona. Finora ho partecipato ad alcune messe in Italia senza vedere i bambini intorno, ma le donne anziane come la maggioranza. Oggi è una nuova esperienza per me questa realtà.

Sì, è la mia prima volta che presiede la messa in lingua italiana, compresa la predicazione. E' corretto svolgimento come ho preparato e praticata in precedenza. Ero fiducioso di fare sensazione è successo dal momento che è molto facile da pronunciare parole italiane, anche se mi rendevo conto che non tutte le parole che ho potuto pronunciare correttamente. Alcune parole hanno un accento diverso. Come si viaggia in auto guidata da Padre Narciso, ho visto nella strada un italiano parole che dice "Varano, il paese dei dialetti", quindi ho pensato che io sono venuto a Varano a dire la messa usando il mio accento indonesiana e giavanese come ho parlavano l’italiano. Prima della messa terminata, il parroco ha dato grazie a noi che abbiamo celebrato la Santa Messa poi dopo ho detto grazie anche ai fedeli. Ho detto che sono felice di avere questa opportunità che presiede la Messa. Onestamente, ho detto loro che, dopo quattro mesi in Italia, mi ha detto la Messa in italiano. Essi hanno risposto con entusiasmo da clapping loro mani, che mi applausi. Tutti in tutto, ringrazio Dio per questa grande esperienza e aspettiamo altre meravigliose.

Eccola è la mia omelia che io ho predicatola nella messa:


1. Il Vangelo dei”beati” domina la Liturgia di questa Domenica. E’ l’incipit del discorso della montagna. Gesù che sale sul monte ci appare come il nuovo Mosè, promulgatore della nuova Legge («ma io vi dico...!») sul nuovo Sinai. Proclamando beati i poveri e gli umili Gesù parla il linguaggio che Dio aveva già usato col suo popolo attraverso i profeti, quello, per esempio, di Sofonia, che noi ascoltiamo nella Prima Lettura. Lo stesso linguaggio adopera anche san Paolo (Seconda Lettura): i primi ad essere chiamati sono sempre i piccoli, i poveri, quelli che il mondo disprezza, ma che sono grandi nel regno dei cieli.

2. Il discorso è davvero un capovolgimento di quelli che tradizionalmente erano ritenuti valori. Gli Ebrei coltivavano la convinzione che la prosperità materiale, il successo, fossero segni della benedizione di Dio, e segno di maledizione la povertà e la sterilità. Gesù denuncia l’ambiguità di una rappresentazione terrena della beatitudine. Ormai i beati non sono più i ricchi di questo mondo, i sazi, gli adulati, ma coloro che hanno fame e che piangono, i poveri e i perseguitati.

3. E’ la nuova logica, quella che esprime Maria, la beata per eccellenza: «Ha rovesciato i potenti dai troni, ha innalzato gli umili: ha ricolmato di beni gli affamati, ha rimandato a mani vuote i ricchi» (Lc I ,52-53).

4. Le nove beatitudini di Matteo si riassumono nella prima: «Beati i poveri in spirito». Le altre sono un corollario e una esplicitazione di questa. Il riconoscersi poveri, deboli, non è, però, prima di tutto uno stato sociologico, ma un “dono”! La sola povertà non è di per sé un bene e neppure una situazione di ascesi. Ma essere ricchi - secondo la mentalità di questo mondo - significa avere potere, ricevere onori e avere un posto di supremazia sugli altri; e qui comincia il pericolo, perché dove c’è potere, ricchezza e supremazia, ci sono molto spesso gli oppressi, gli schiacciati, gli ultimi. Ed è a questi che va il regno dei cieli. Con questi si schiera Gesù. Essi sono gli eletti.

5. Gesù si presenta come il messaggero inviato da Dio per annunciare ai poveri la Buona Novella: la sua sollecitudine per i poveri, gli infelici, gli ammalati era il segno della sua missione. Gesù porta ai diseredati non solo l’assicurazione che un giorno godranno il Regno di Dio, ma annuncia loro che questo regno è arrivato. La missione di Gesù si estende, oltre che ai poveri, a tutte le miserie fisiche e spirituali; tutte attirano la sua compassione. Inaugurando l’era della salvezza, Dio accorda una priorità a tutti coloro che della salvezza hanno un più urgente bisogno.

6. In un mondo come quello attuale ha ancora senso il discorso della montagna? Che senso ha far risuonare questo testo in una società di consumi che misura la felicità e la beatitudine sul metro dell’avere, del successo e del potere? E nel terzo mondo sottosviluppato e oppresso, che senso ha ripetere: «Beati i poveri.., beati i perseguitati...»? Non è forse uno schiaffo alla loro miseria o un tentativo di narcotizzare o di addormentare «la collera dei poveri»?

7. Eppure non possiamo annullare questa beatitudine senza annullare il Cristo. Il primo povero, infatti, è lui, che essendo ricco si è fatto povero per noi. Ai Filippesi, San Paolo scritto:


5 Abbiate in voi gli stessi sentimenti che furono in Cristo Gesù,6 il quale, pur essendo di natura divina,non considerò un tesoro gelosola sua uguaglianza con Dio;7 ma spogliò se stesso,assumendo la condizione di servoe divenendo simile agli uomini;apparso in forma umana,8 umiliò se stessofacendosi obbediente fino alla mortee alla morte di croce.
C’è, quindi, in questa beatitudine un appello a seguire quel Gesù che non ha trovato posto nell’albergo, che non aveva una pietra su cui posare il capo, che è morto povero e spoglio su una croce. E lo ha fatto per darsi tutto agli altri. La folla che ascolta e segue Gesù non è costituita da scribi, farisei, leviti, sacerdoti del tempio, potenti custodi dell’ordine. Segue Gesù la folla anonima del popolo minuto, che vive del suo lavoro, la gente che dai potenti del tempo era imbrogliata ed oppressa...

8. La povertà proclamata da Gesù non deve essere solo la caratteristica di ogni cristiano, ma il distintivo e la beatitudine della Chiesa e della Comunità cristiana in quanto tale. Uno dei momenti forti della “conversione” a cui il Concilio ha chiamato la Chiesa è la povertà. Non è forse da una certa ricchezza di mezzi, da un certo attaccamento al denaro e al potere entro la Chiesa, che nasce in molti cristiani un senso di disagio? Nella nostra comunità Cristana nel mondo sono presenti molte persone che hanno disponibilità di mezzi e di cultura. Essi non sono mai dispensati dal ricercare le vie della povertà e dal servire i propri fratelli e sorelle che sono nell’indigenza, perché è ancora e sempre nei poveri che si incontra colui che è venuto a salvare.

Come è la spiritualità di queste beatitudini animata dai missionari?
9. “Il missionario è l'uomo delle Beatitudini. Gesù istruisce i Dodici prima di mandarli ad evangelizzare, indicando loro le vie della missione: povertà, mitezza, accettazione delle sofferenze e persecuzioni, desiderio di giustizia e di pace, carità, cioè proprio le Beatitudini, attuate nella vita apostolica (cf Mt 5,1-12). Vivendo le Beatitudini, il missionario sperimenta e dimostra concretamente che il Regno di Dio è già venuto ed egli lo ha accolto. La caratteristica di ogni vita missionaria autentica è la gioia interiore che viene dalla fede. In un mondo angosciato e oppresso da tanti problemi, che tende al pessimismo, l'annunciatore della buona novella deve essere una persona che ha trovato in Cristo la vera speranza" Redemptoris Missio (1990), n. 91

10. Scopriamo quindi l'attitudine del cristiano alla pace, alla misericordia, al perdono, al saper vivere con coerenza e sincerità di cuore. La beatitudine vera è proprio nel saper riconoscere il volto di Cristo nella nostra vita e far in modo che risplenda comunicando l'intima unione al Padre perché la nostra vita sia sempre informata dall'azione dello Spirito Santo.

11. Le beatitudini del cristiano riposano nella vita vissuta intensamente e anche nel saper affrontare le difficoltà senza l'angoscia e la disperazione che molte volte serpeggia in questo mondo affannato. Il cristiano trova il paradiso della sua beatitudine già in questa vita terrena. Non è la ricchezza materiale o la sua agiatezza che possono far scoprire il vero essere cristiani.

12. La beatitudine di Cristo non è neanche subire passivamente tutte le difficoltà e le ingiustizie che possiamo trovare nell'arco della vita. La vera beatitudine sta nello scoprire in queste difficoltà e nelle sofferenze, quel valore di redenzione che ci unisce al Mistero della Morte e Resurrezione di Cristo.

13. Facciamo nostre queste beatitudine per scoprire nei nostri cuori il vero Regno di Dio, Regno di amore e di misericordia e riconosciamo in Cristo il nostro vero Re. Quindi, potremo dire insieme: “Beati i poveri in spirito, perché di essi è il regno dei cieli.”